Jagalah Alam Maka Alam akan menjagamu
14 Febuari 2014
Seandainya pohon bisa memberontak dan
bicara tentunya ia bakal menjerit ketika ditebang, seadainya satwa liar
itu bisa bicara tentunya ia bakal menyelamatkan hidupnya, namun kita
sebagai manusia punya mulut, hati, telinga, otak malah diam
saja melihat, mendengar jeritan-jeritan alam yang rusak ditangan
kerakusan spesies manusia seperti kita ini. Apakah kita bangga dengan
kekuasaan kita sendiri sementara kita telah melakukan bunuh diri secara
perlahan bersama-sama oleh perbuatan kita sendiri.
Sebelum kita membahas pecinta alam dan kegiatannya mari kita pahami betul apa epistemologi dari “Pencinta Alam”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata Cinta mempunyai empat makna, yakni, [1] ‘suka sekali’ ; ‘sayang
benar’ ; [2] ‘kasih sekali’ ; terpikat’ ; terpikat ; [3] ‘ingin sekali’ ;
berharap sekali ; ‘rindu’ ; dan [4] ‘susah hati ; risau’ (1993 -190).
Yang artinya pencinta diberi makna ‘orang yang suka akan’ (h191). Selain
itu kata alam yang diserap dari bahasa Arab, di Indonesia berkembang
sehingga mempunyai tujuh makna. Ketujuh makna itu ialah [1] ‘segala ada
yang dilangit dan dibumi’ ; [2] ‘lingkungan dan kehidupan’ ; [3] ‘segala
sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan dan dianggap satu
lingkungan dan dianggap sebagai satu keutuhan’ [4] ‘segala daya yang
menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala sesuatu yang ada
di dunia ini [5] ‘yang bukan buatan manusia’ ; [6] ‘dunia’ ; dan [7]
‘kerajaan ; daerah ; negeri ‘ (h.22). Kalau kedua kata tersebut digabung
maka arti dari pencinta alam adalah ‘orang yang sangat suka akan alam’.
Namun tidak disaat ini, pencinta alam yang
sebenarnya hanya pantas ditunjukan pada masyarakat asli hutan,
organisasi non pemerintah yang peduli terhadap lingkungan dan alam,
individu yang peduli dengan lingkungan hidup lewat kemampuan yang dia
bisa, seperti menanam pohon, membuang sampah tidak sembarangan, tidak
memelihara satwa liar yang dilindungi UU, tidak menebang pohon ditaman
nasional dan disekitar hutan lainnya, naik sepeda, menulis tentang
lingkungan, membuat film tentang hutan dan kelestariannya, dan masih
banyak lagi bentuk kepedulian terhadap lingkungan.
Makna ‘orang yang suka akan alam’ berarti
manusia yang peduli dengan alam dan menjaga kelestariannya. Dengan
menjaga kelesatariannya berarti ia membela nasib hutan dan satwa liar
yang sedang mengalami kepunahan bukan berpetualang menantang andrenallin
naik gunung, memanjat tebing, atau membuka jalur untuk latihan atau
dengan bangga bisa menaklukan alam.
Sejarah memang harus dipelajari tentang
pendirian pencinta alam yang motori almarhum Soe Hok Gie, Herman Lantang
dan kawan-kawan. Di era 60-an memang terjadi pergolakan masa transisi
kemerdekaan. Invansi politik praktis diluar kampus Universitas Indonesia
lewat organisasi dan kesatuan aksi mahasiswa dari berbagai atribut dan
ideologinya berusaha memasuki Universitas. Namun, Almarhum Soe dan
rekan-rekannya tidak peduli dan menjadi kelompok yang tidak memihak
dengan kemelut politik saat itu. Mereka lari ke gunung dan pergi ke
tempat-tempat sepi terpencil. Kalau penulis menyimpulkan contemplasi ala
raja-raja Jawa seperti pendeta-pendeta hinduisme. Mereka paham waktu
itu posisi benar-benar terjepit. Kebersamaan dan pengalaman itulah lahir
istilah pencinta alam,dan berkembang dari mapala, Hisipala sampai
organisasi pemuda pecinta alam.
Kegiatan mereka hanya berlarian ke gunung,
ke goa, ke tebing hanya untuk menikmati alam. Jaman abad ini sudah
berubah namun masih ada saja organisasi pencinta alam baik dari kampus
dan masyarakat yang bergiat untuk naik gunung, ke goa, arung jeram, ke
tebing atau pendidikan seperti gaya militer, menggampar seenaknya calon
peserta dengan alasan biar berdisiplin seperti militer. Padahal
pendidikan ala militer dewasa ini dengan kekerasan sudah mulai
dikurangi.
Pernah penulis mendapat artikel cerita dari
aktivis lingkungan dari negeri yang hutannya sudah hilang bahwa
seandainya gunung itu dipenuhi sampah dan hutannya gundul, iklimnya
panas, sungai dipenuhi limbah pabrik, tebing karst di bom dan batunya
diambil untuk bahan lantai, meja, dan satwa liar yang eksotik punah
seperti Harimau batang, Rusa, Raflesia, anggrek hutan dan flora dan
fauna lain . Apakah
organisasi pencinta alam diam saja melihat itu semua.
Memang hutan Indonesia belum parah meski
terlihat parah atau sungai-sungai masih belum tercemar hingga bisnis
olah raga arus deras pun menjamur atau gunung masih ada tempat menarik
meski jauh paling atas, goa-goa masih banyak yang bagus, tebing-tebing
masih menjulang tinggi toh mereka hanya santai-santai saja atau tidak
perduli sama sekali lebih mementingkan event-event kejuaraan atau
pelatihan-pelatihan yang tidak ada hubungannya dengan makna dari
pencinta alam. Sangat tragis benar.
Apa ada yang salah dari Almarhum Soe Hok Gie
dan kawan-kawan lamanya hingga penerusnya hanya mementingkan kepuasaan
sesaat atau kode etik pencinta alam Se-Indonesia yang syahkan bersama
dalam gladian ke-4 yang setiap kegiatan wajib dibacakan setiap kegiatan
seperti maksud dari pesannya Pencinta Alam Indonesia adalah sebagai
dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab kami kepada Tuhan,
Bangsa dan Tanah Air. Dengan kesadarannya mereka (Pencinta Alam) menyatakan pada poin 2 yang isinya memelihara alam beserta isinya menjadi ucapan atau janji tanpa makna (Lip Service).
Namun hasilnya pun hutan tetap gundul, satwa
liar makin lama makin punah, bencana lingkungan mulai bermunculan,
bahkan pemanasan global yang dibicarakan setiap negara dan para aktifis
lingkungan dari LSM dengan gencarnya mencari solusi. Sedangkan
organisasi yang namanya Pencinta Alam belum menunjukan taringnya untuk
peduli terhadap lingkungan. Bahkan hanya bisa dihitung oleh jari
organisasi pencinta alam yang peduli terhadap lingkungan. Atau menurut
saran respon dari pembaca tulisan yang ditulis penulis mending diganti
saja nama pencinta alam dengan nama jenis petualang. Biar tidak terjadi
pembiasan makna dari kata Pencinta Alam.
Alhasil, makin sepinya minat pemuda sekarang
untuk masuk organisasi pencinta alam. Tradisi lama masih dipakai tidak
ada formulasi-formulasi baru untuk merefleksikan kegiatan-kegiatannya.
Atau organisasi pencinta alam dewasa ini telah bangga dengan
“establishment” (kemapanan). Kebiasaan-kebiasaan lama yang harus
ditinggalkan malah terus diulang-ulang saja seperti pendidikan dengan
kekerasan atau perbedaan yang antara senior dan yunior, pendendaman
akibat dari pendidikan yang keras, menebang pohon untuk simulasi SAR,
atau pembukaan jalur. Meski kecil namun tetap saja kita memberikan
pendidikan yang tidak baik terhadap masyarakat sekitar gunung atau
hutan.
Apa kita sebagai pencinta alam terus
merenung naik gunung?Apa kita sebagai pencinta alam masih saja manjat
memenuhi kepuasaan jiwa? Apa kita sebagai pencinta alam terus menelusuri
goa?Apa kita sebagai pencinta alam terus pergi keriam berarung jeram
melintasi sungai?Apa kita sebagai pencinta alam bangga dengan ucapan
sebagai penikmat alam? Waktunya kita bergabung dan belajar dari
organisasi-organisasi non pemerintah, masyarakat dengan kearifan
tradisional sekitar hutan yang peduli terhadap lingkungan untuk
melakukan sinergi bersama mencari solusi tentang kerusakan alam. Ini
tugas semua pencinta alam Indonesia di abad 21 ini. Waktunya
meninggalkan dunia petualang. Take Action Now!
By David Siete